Thursday, December 22, 2005

Khutbah Al Jumu'ah

Mawlana Shaykh Muhammad Hisham Kabbani
22 Desember 2005
ASIM

Al-hajj ash-hurun ma`loomat faman…

Ibadah Haji segera tiba dalam beberapa hari ini. Semata untuk memenuhi kewajiban kita kepada Tuhan kita. Ummat Islam (Muslim) kini tengah bersiap-siap untuk menunaikan ibadah hajji ini.

Nisaburi berkata dalam Tafsir-nya, bahwa pada hari itu, akramallahu hadza al-Ummah bi sawmi ‘Arafat wa akram arba’a min al-anbiyaa’.
“Allah melimpahkan barakah-Nya pada hari itu dengan puasa Arafah, dan Ia SWT melimpahkan pula kehormatan pada empat Nabi pada hari itu: 1) Adam, dengan memaafkanya pada hari itu dari dosa memakan buah pohon terlarang, 2) Musa ‘alayhissalam, dengan takliim, berbicara langsung padanya di hari itu, dan 3) melimpahkan kehormatan pada Muhammad sallAllahu ‘alayhi wa aalihi wasallam dengan ibadah hajji dan kesempurnaan agama, serta 4) Ibrahim alayhissalam dengan melimpahkan kehormatan padanya dengan seekor domba untuk disembelih sebagai ganti penyembelihan putranya bagi Tuhannya.

Karena itulah, hari itu, yang kini tiba pada diri kita, amatlah penting. Karena itu pula Sayyidina Abu Bakr radiyAllahu ‘anhu mengetahui bahwa saat Allah SWT menurunkan ayat: Al yawma akmaltu lakum diinakum wa atmamtu ‘alaykum ni’matii… “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan agamamu, dan telah kucukupkan bagimu ni’matku…”, [menunjukkan bahwa] Arafat adalah puncak agama. Ia adalah tingkat tertinggi Islam. Allah SWT berfirman al-yawma, hari ini. Saat Nabi sallAllahu ‘alayhi wa aalihi wasallam dalam hajjat al-wida’, haji perpisahan, setelah mengalami kemenangan penuh dan memasuki Kota Makkah dan Ka’bah, [Allah mewahyukan pada beliau] “Hari ini telah Ku-sempurnakan agamamu dan Ku-cukupkan bagimu ni’mat-Ku”.

Saat ayat Quran ini turun, Sayyidina Abu Bakar radiyAllahu ‘anhu menangis. Para Sahabat yang lain bergembira. Mereka pun bertanya padanya, “Mengapa kau menangis, sedangkan tiap orang lainnya demikian bahagia?” Beliau pun menjawab, “Adalah benar apa yang dipahami setiap orang yang lain, namun yang kupahami dari ayat ini adalah bahwa Nabi sallAllahu ‘alayhi wa-aalihi wasallam akan meninggalkan diri kita, karena wahyu telah sempurna, telah selesai.” Delapan puluh hari kemudian Nabi sallAllahu ‘alayhi wa-aalihi wasallam pun wafat meninggalkan dunia fana’ ini.

Wahai Muslim,
Setelah kesempurnaan, tak akan ada yang lainnya. Itu berarti kalian tak dapat menambahkan suatu apa pun pada agama. Selesai. Itulah makna “atmamtu”, ayat itu tak berbunyi tersempurnakan, tapi ayat itu berbunyi “Telah Ku-lengkapkan ni’mat-Ku”. Kamal berbeda degan Tamam. Kamal berarti tak ada yang melebihinya. Tak ada yang melebihi bulan purnama di pertengahan bulan, tanggal 15 bulan qomariyah. Tamam dapat berarti tamam menurut level kalian atau menurut level yang lainnya. Artinya, “Aku lengkapkan ni’mat-Ku bagimu, namun Aku melengkapkannya lebih banyak lagi dan lebih banyak lagi.” Jadi, setelah Kamal, tak ada yang lain selain nuqsan.

Jadi, dalam Islam, tak ada lagi yang perlu dilengkapkan. Jika Muslim melengkapi kewajiban-kewajiban yang telah diberikan pada mereka, mereka akan berbahagia dalam kehidupan ini.

Orang-orang datang dengan membawa masalah. Itulah kebijaksanaan dan kehendak Allah. Itulah sunnatullah yang ada saat Allah menciptakan ciptaan. Sayyidina Adam ‘alayhissalam memiliki masalah-masalahnya. Musuhnya nomor satu adalah Iblis.

Nabi sallAllahu ‘alayhi wa aalihi wasallam, sang Mustafa, yang terpilih sebagai Nabi pilihan pun menghadapi masalah-masalah dari kaumnya. Bahkan hingga hari ini pun, beliau sallAllahu ‘alayhi wa aalihi wasallam tetap beroleh masalah dari orang-orang bodoh yang berkata miring tentang beliau. Namun, bagaimanakah masalah-masalah ini dapat diatasi?

Berserahdirilah! Jika kalian berserah diri pada Kehendak Allah, kalian akan menyelesaikan masalah-masalah kalian.

Dalam (Tafsir) Nisaburi, saat Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih putranya Isma’il, “idzaa araa fii manaamihi…”. Diriwayatkan dalam Tafsir tersebut, bahwa siti Hajar, istri kedua sayyidina Ibrahim, yang sebelumnya adalah hamba sahayanya, dinikahi oleh beliau setelah istrinya yang pertama, Sarah, karena istri yang pertamanya ini saat itu belum melahirkan seorang anak pun. Kita sering mendengar saat ini orang berkata, “Aku tak tahan lagi; aku akan melarikan diri!” Demikian pula saat itu, Hajar melarikan dirinya dari nyonyanya, dan seorang malaikat pun mendatanginya, seraya berkata padanya, “Kenapa kau lari? Mengapa kau meninggalkan nyonyamu Sarah?” Hajar menjawab, “Aku tak mampu lagi bersabar darinya”. Sang Malaikat berkata, “Kembalilah kamu, jangan melarikan diri! Dengarkan dan taatilah apa yang ia katakan, ia adalah nyonyamu.”

Siapakah yang dapat menerima hal seperti itu sekarang? Tak seorang pun. Kita tak mampu menerima nasihat saudara ke saudara. Kita tak pula mampu menerima nasihat, antara ibu ke putrinya, ibu ke putranya, istri ke suami atau sebaliknya, kita tak mau lagi menerima dan mendengar nasihat apa pun. Jika kita bertindak seperti Siti Hajar, untuk menerima dan berserah diri, tentu semua masalah akan terselesaikan. Jangan lari! Hadapi masalah! [Wahai Hajar] kau akan hamil dan mengandung sang Sayyid, Manusia Pilihan, yang menyampaikan Wahyu di Hari-hari Terakhir dunia ini. Jangan lari, saat itu tengah menunggumu saat dirimu mengandung sang pemimpin kemanusiaan, di mana ia sallAllahu ‘alayhi wa aalihi wasallam bersabda dalam suatu hadits “Ana sayyidii waladi Aadam wa laa fakhr”. (Aku pemimpin seluruh anak keturunan Adam, dan tidaklah aku bersombong).

Siti Hajar pun kembali, dan ia berlaku sabar hingga ia pun hamil. Ia pun melahirkan Isma’il ‘alayhissalam hingga ia berusia 13 tahun, saat mana Ibrahim diperintahkan untuk menyembelih Isma’il.

Mengapakah perintah penyembelihan sang anak Isma’il tersebut datang lewat mimpi? Karena para Nabi diberi wahyu lewat perantaraan Sayyidina Jibril ‘alayhissalam, kecuali Sayyidina Musa ‘alayhissalami, yang selalu dapat berbicara langsung kepada Allah. Saat Sayyidina Ibrahim ‘alayhissalam berada dalam kobaran api Namrudz, Sayyidina Jibril ‘alayhissalam mendatangi beliau dan bertanya pada beliau, “Adakah sesuatu yang kau perlukan?” Ibrahim ‘alayhissalam menjawab, “Tak ada, aku hanya membutuhkan dari Allah.”

Lalu, kenapa kemudian melalui suatu mimpi? Saat Allah Ta’ala memerintahkan pada Jibril, “Pergi dan katakan padanya untuk menyembelih putranya,” Jibril pun berkata, “Wahai Allah, mohon janganlah mengutusku untuk melakukan hal ini. Akan kulakukan apa pun yang Kau perintahkan padaku, namun aku mohon pada-Mu untuk tidak memerintahkanku membawa perintah itu. Aku telah membangun suatu persahabatan yang erat dengannya (dengan Ibrahim, red.). Ia adalah seseorang yang telah berusia lanjut. Bagaimanakah aku mampu pergi dan berkata padanya untuk menyembelih putranya yang ia dapati setelah usianya demikian tua? Selama ini belum pernah aku mendatanginya kecuali dengan kabar gembira; mohon jangan taruh diriku dalam ujian seperti itu.”

Allah pun berfirman, “Baiklah, Aku akan mengirimkan padanya mimpi.”

Ibrahim ‘alayhissalam pun melihat mimpi tersebut, dan ini terjadi pada malam ‘Arafat. Karena itulah, selepas Arafat, kita pergi dan menyembelih (qurban). Mimpi ini terjadi pada malam tanggal sembilan, dan bukan malam tanggal sepuluh. Ibrahim ‘alayhissalam pun segera berangkat dan menyembelih 100 domba. Maka, beliau pun menyembelih 100 domba, setelah ia melihat dalam mimpi bahwa dirinya diperintahkan untuk menyembelih putranya. Maka, begitu ia selesai menyembelih domba-domba tersebut, api pun menyambar dan mengambilnya. Ini adalah cara Allah SWT menunjukkan penerimaan-Nya akan kurban tersebut, sebagaimana dalam kasus Habil dan Qabil (putra-putra sayyidina Adam ‘alayhissalam). Habil menyembelih kambing terbaiknya, sedangkan Qabil mengurbankan yang terjelek. Api turun dan mengambil domba qurban Habil. Setelah peristiwa ini, Qabil menjadi dengki dan iri, sampai berakibat ia membunuh saudaranya sendiri.

Demikianlah, segala sesuatunya kini telah berubah menjadi kedengkian dan bisnis belaka. Saat orang melakukan bisnis dengan baik, kedengkian dan kecemburuan pun ditimpakan atas diri mereka. Sihir dan masalah-masalah lainnya. Setiap orang merasa dengki atas yang lainnya, dan berusaha menyakiti mereka.

Demikianlah, kembali ke kisah Ibrahim, ia demikian bahagia api turun dan mengambil ke-100 dombanya.

Kemudian ia melihat lagi mimpi yang sama pada malam tanggal 10, malam ‘Idul Adha. Ia tahu bahwa mimpi tersebut bermakna, “Wahai Ibrahim, kau mesti menyembelih putramu bagi-Ku, Aku tak menginginkan domba-dombamu. Aku menginginkan putramu.”

(Apakah kalian kira) Allah tak mengetahui bahwa Isma’il adalah ayah moyang dari Sayyidina Muhammad sallAllahu ‘alayhi wa aalihi wasallam yang akan datang di masa kemudian? Tentu saja Allah mengetahui segala sesuatunya! Namun, Ia SWT menghendaki untuk menyembunyikan [hal tersebut] dari Ibrahim ‘alayhissalam dan menyembunyikannya pula dari Isma’il ‘alayhissalam.

Cahaya dari sang Insan Kamil (manusia sempurna) tersebut ada pada dahi Sayyidina Isma’il ‘alayhissalam. Cahaya tersebut berpindah dari sang ayah ke sang putra lewat dahi tersebut, dan ketika ia menikah, cahaya itu pun berpindah ke putranya. Cahaya itu adalah ikraaman li Muhammad (penghormatan bagi sayyidina Muhammad sallAllahu ‘alayhi wa aalihi wasallam). Karena itulah, kita mengatakan dalam Tafsir, bahwa sajdah kepada Adam adalah sajda ikraam (sujud penghormatan) dan bukan sajda ibadah (sujud penyembahan). Penyembahan atau ibadah hanyalah bagi Allah.

Maka, pada titik ini, apa yang mesti dilakukan (oleh Ibrahim)? Tak ada jalan lain. Maka, beliau pun menyuruh Hajar mempersiapkan Isma’il dan berkata, “Aku akan pergi dengannya.” Hajar memandikan Isma’il dan meminyakinya.

Lalu syaitan datang pada Hajar dan berkata, “Percayakah kamu pada suamimu? Ia tidak akan membawa putramu untuk pergi berpiknik; ia akan menyembelih dan mengurbankan putramu.”

Hajar menjawab, “Aku serahkan semua pada Tuhanku, aku tak peduli. Aku serahkan semua pada Tuhanku.”

Kemudian, syetan pun berpaling pada Sayyidina Isma’il dan berkata padanya, “Ayahmu akan membunuhmu!”

Isma’il menjawab, “Wahai musuh Allah, jangan kau ganggu diriku. Jika ayahku hendak membunuhku, aku pun akan berbahagia untuk pergi menghadap Tuhanku.”

Semua peristiwa ini terjadi di hari-hari Hajji.

“Qaala yaa bunayya innii araa fil manaam... Faf’al maa tu’mar!”

Sayyidina Isma’il berkata, “Aku tak akan berkata satu kata pun, tak perlu mengikatku, dan jangan kau tutup mataku, aku siap untuk Tuhanku.”

Siapa yang mampu melakukan hal tersebut sekarang? Siapa yang mampu menerimanya?

Hal ini tidaklah terlalu sulit. Lihatlah bagaimana Anbiyaullah (para Nabi Allah) menghadapi masalah dan kesulitan. Lihatlah pada diri kita, bagaimana terhadap kesulitan-kesulitan dan masalah yang demikian kecil (dibandingkan apa yang dialami keluarga Ibrahim ‘alayhissalam, red.) kita tak mampu menghadapinya!

Saat itu, Isma’il adalah putra satu-satunya. Ibrahim belum memiliki Ishaq atau Ya’qub. Sang putra, Isma’il berkata, “Wahai ayahandaku, lakukanlah apa yang diperintahkan padamu dan kau akan mendapati diriku sebagai seseorang yang sabar, dan aku pun ingin agar dirimu pun bersabar.

Seorang anak berumur 7 tahun atau 13 tahun berkata pada ayahandanya, “Bersabarlah. Namun, aku menginginkan satu hal darimu, wahai ayah.” “Apakah itu?” tanya sang ayah, Ibrahim ‘alayhissalam.

“Ambil dan bawalah bajuku, berikanlah pada ibundaku; sebagai suatu pengingat baginya bahwa aku memberikan nyawaku bagi Tuhanku. Dan, wahai Ayah, mohon katakanlah pada ibundaku seperti ini: ‘Kutinggalkan anakku di suatu tempat yang lebih baik dari tempatmu dan di suatu majelis yang lebih baik dari majelismu’. Aku kini berada di Hadirat Tuhanku.”

Ibrahim ‘alayhissalam pun tak mampu mengendalikan dirinya lagi untuk tak menangis. Tangisnya pun berurai, “Oh Allah, kasihanilah diriku atas kelemahan diriku, dan biarkanlah aku hidup lebih lama untuk memiliki seorang anak lagi. Jika Kau tak mengasihaniku, maka kasihanilah putraku, anak muda itu yang belum berdosa sama sekali, dan hanya berusia 7 tahun. Jika aku punya sesuatu dosa, tak mengapa bagiku (Kau tak mengasihaniku), namun ia tak bersalah dan tak berdosa sama sekali.”

Dan ketujuh langit pun dengan malaikat-malaikat mereka menangis! Jibril pun menangis dan Ibrahim pun menangis. Pintu-pintu langit terbuka lebar, dan Ibrahim dengan segenap tangisan dan luka dalam di hatinya, ia mengambil putranya dan menaruhnya di atas batu dengan segenap kekuatannya, dan menaruh pisaunya yang tajam di pembuluh darah di leher Isma’il putranya, sambil mendorongnya dengan keras, namun – pisau itu tak juga memotong.

Ibrahim dengan cepat berusaha memotong (anaknya) dan segera mengakhiri situasi yang penuh kesedihan tersebut, dan Allah mengujinya kembali di waktu ini. Allah Ta’ala tak mengizinkan pisau tersebut untuk menyayat leher Isma’il. Namun, ini merupakan ujian lain bagi Ibrahim – artinya ia harus melakukan sayatan potongan tersebut berulang kali, dan hatinya pun terbakar. Isma’il, putranya, berkata, “Apa yang terjadi, wahai Ayahku, aku mencium bau daging terbakar?” Ibrahim menjawab, “Dagingku terbakar dari dalam!”

Ia pun mendorongkan pisaunya sekali lagi. Namun pisau itu tak juga memotong. Allah berfirman pada Jibril, “Jika pisau itu sampai memotong leher Isma’il, akan Ku-lempar kau dari hadapan-Ku!” Maka dengan kecepatannya, Jibril melesat menuju Ibrahim. Dan Ibrahim pun melempar pisau tersebut dengan amarah karena ia tak mampu memenuhi perintah Tuhannya [padahal pisau tersebut telah diasah olehnya hingga tajam, red]. Dan pisau itu pun berkata, “Mengapakah dirimu marah?” Ibrahim menjawab, “Kau tak juga memotong leher Isma’il anakku, dan aku pun tak dapat memenuhi perintah Tuhanku.”

Pisau itu menjawab, “Ingatkah engkau ketika api tak mampu membakar dirimu?” Ibrahim menjawab, “Ya, aku ingat, dan itu karena perintah Tuhanku agar ia tak membakar diriku.” Pisau itu pun berkata lagi, “Dan aku pun mematuhi perintah Tuhanku 70 kali untuk tidak memotong leher Isma’il. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman pada api “Kuunii bardan wa salaaman ‘alaa Ibrahiim” “Jadilah engkau dingin dan menyelamatkan bagi Ibrahim”, Ia SWT pun berfirman pada diriku untuk tidak memotong leher Isma’il.” Dan dengan segera Jibril membawa seekor kambing pada Ibrahim dan berkata padanya, “Engkau telah memenuhi apa yang Allah perintahkan bagimu – maka kini sembelihlah seekor domba.”

Karena itulah, kini setiap orang menyembelih seekor domba pada hari hajji, untuk meluruhkan segenap dosa.

Isma’il berkata, “Aku ingin mengajukan satu pertanyaan? Akukah yang lebih pemurah dari dirimu, wahai Ayahku, ataukah dirimu yang lebih pemurah daripadaku?”

Ibrahim menjawab, “Aku lebih pemurah daripadamu.” Mengapa? “Karena aku memberikan putraku dengan tulus bagi Tuhanku sebagai suatu kurban.”

Isma’il berkata kembali, “Wahai ayahandaku, [dan Isma’il memiliki rahasia Nabi sallAllahu ‘alayhi wa aalihi wasallam dalam dirinya] itu tidaklah benar. Kau memberikan anakmu, dan bukan dirimu sendiri. Sedangkan diriku menyerahkan jiwaku dan aku tak memiliki jiwa yang lain selain yang kupunyai saat ini. Engkau tidak menyerahkan jiwamu sendiri. Karena itu, aku lebih pemurah dari dirimu.”

Itu karena ia (Isma’il) membawa rahasia dari ruh Sayyidina Muhammad sallAllahu ‘alayhi wa aalihi wasallam, Rahmat dan Kasih Sayang bagi seluruh ummat manusia. Rahmat bagi Kemanusiaan itu adalah sesuatu yang hebat. Inilah suatu rahasia yang ada dalam qalbu anbiya’ (para Nabi). Tak seorang pun tahu berapa tinggi dan dalam rahasia tersebut. Apa yang Sayyidina Isma’il berikan pada kita adalah suatu citarasa dari kasih sayang sang Nabi Akhir Zaman yang datang di kemudian hari (sebagai keturunan sayyidina Isma’il, red.).

[kesalahan penerjemahan, semata karena kelemahan penerjemah, DvD. Kami bermohon ampun pada Allah Ta’ala. Astaghfirullah wa atuubu ilayh. Dan semoga diterima sebagai persembahan cinta pada saudara-saudaranya, pada Shaykh Mursyidnya, pada Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wa aalihi wasallam, dan pada Allah Ta’ala].

Bihurmatil Habib, Al-Faatihah!

Di-post oleh Dedy H.B. Wicaksono di milis Muhibbun Naqsybandi

No comments: